Pernah nggak sih, kamu lewat di depan sebuah ruko yang beberapa bulan lalu antreannya mengular, eh, sekarang udah ganti jadi usaha lain? Atau mungkin kamu sendiri yang lagi merasakannya: semangat 45 pas buka usaha kuliner, ikutin semua tren yang lagi naik daun, tapi kok penjualan rasanya gitu-gitu aja. Mentok.
Rasanya gemas, kan? Merasa ada yang salah, tapi bingung salahnya di mana. Kita semua pernah di posisi itu. Mikir, “Apa produkku kurang enak? Apa promosiku kurang gencar?”
Ternyata, oh, ternyata, masalahnya sering kali bukan di situ. Sales motivator yang saya ikuti, Remaja Tampubolon, pernah bilang satu hal yang jleb banget: banyak bisnis gagal bukan karena produknya jelek, tapi karena mereka terlalu fokus pada produk dan lupa sama pasarnya.
Ini dia jebakan-jebakan maut yang sering bikin pengusaha F&B pemula, bahkan yang sudah berjalan sekalipun, jadi korban.
Jebakan #1: Euforia Tren Itu Candu
Masih ingat hebohnya Es Kepal Milo? Atau demam Dalgona Coffee pas awal pandemi? Semua orang bikin, semua orang jual. Kelihatannya? Menggiurkan. Euforia sesaat itu sering disalahartikan sebagai loyalitas pelanggan.
Padahal, tren itu seperti ombak di pantai. Datang dengan cepat, besar, tapi surutnya juga cepat. Pelanggan yang datang karena tren adalah “turis,” bukan “warga tetap.” Mereka datang karena penasaran, bukan karena butuh atau cinta sama produkmu.
Contoh nyata? Di kota saya, dulu ada belasan gerobak Croffle yang berjejer di satu area. Sekarang? Mungkin sisa dua atau tiga, itu pun yang dari awal memang punya konsep kuat, bukan sekadar ikut-ikutan.
Jebakan #2: Perang Harga Sampai Berdarah-darah
“Ah, yang penting jualanku paling murah, pasti laku.”
Siapa yang pernah mikir begini? Jujur saja, strategi “banting harga” itu cuma efektif untuk membuka pintu, bukan untuk membuat orang menetap. Kalau satu-satunya senjatamu adalah harga murah, kamu sedang menggali kuburanmu sendiri secara perlahan.
Saya punya cerita. Dulu dekat kantor ada dua warung ayam geprek yang letaknya sebelahan. Yang satu buka dengan harga Rp15.000. Sebulan kemudian, tetangganya buka dengan harga Rp13.000. Besoknya, yang pertama turunin harga jadi Rp12.000 plus gratis es teh. Terus begitu sampai akhirnya salah satunya tutup karena kehabisan napas.
Mereka sibuk saling sikut, lupa bertanya: “Sebenarnya apa sih yang pelanggan cari selain harga murah?” Mungkin sambal yang lebih khas? Mungkin tempat yang lebih bersih? Atau sekadar sapaan ramah dari penjualnya?
Jebakan #3: Branding Cuma di Kulit, Bukan di Hati
Di zaman media sosial, gampang sekali terjebak flexing. Tempatnya harus Instagrammable, kemasannya harus aesthetic, pemiliknya harus punya personal branding yang kuat. Apa itu salah? Nggak juga.
Masalahnya, itu semua cuma pintu gerbang. Cuma kulitnya. Kalau tamunya sudah masuk tapi di dalam “rumahnya” berantakan—pelayanan jutek, rasa biasa aja, kebersihan nggak dijaga—mereka nggak akan mau datang lagi.
Personal branding pemilik yang kuat memang bisa mendatangkan pelanggan di awal. Tapi yang membuat mereka kembali adalah pengalaman yang mereka rasakan saat berinteraksi dengan bisnismu. Nama besar nggak akan menolong kalau rasa kopinya bikin pelanggan kapok.
Terus, Kuncinya Apa Dong?
Kalau bukan tren, bukan harga, bukan juga sekadar branding, lalu apa?
Jawabannya satu, tapi butuh kerja keras: Customer Experience.
Pengalaman pelanggan. Itu adalah ruh dari sebuah bisnis yang bertahan lama. Sesederhana mengingat nama pelanggan setia. Atau menanyakan, “Pak, kopinya seperti biasa, kan?” Hal-hal kecil seperti ini yang tidak bisa ditiru kompetitor.
Pengalaman itu membangun sesuatu yang lebih dalam dari sekadar transaksi jual-beli. Ia membangun kepercayaan. Dan saat pelanggan sudah percaya, mereka bukan lagi sekadar pembeli. Mereka jadi teman, bahkan jadi tim marketing sukarela buat bisnismu.
Mereka akan cerita ke teman-temannya, “Eh, ngopi di sana deh, baristanya asyik banget, kita dianggap teman.” Cerita seperti ini jauh lebih kuat dari iklan mana pun.
Jadi, coba deh berhenti sejenak dari pusingnya mikirin resep baru atau strategi diskon. Mulailah bertanya pada dirimu sendiri:
“Pengalaman seperti apa yang ingin aku berikan ke setiap orang yang datang ke tempatku?”
Jawabannya ada di sana.
Ilmu ini rasanya “mahal,” setuju? SAVE artikel ini biar bisa jadi pengingat saat kamu mulai goyah, dan SHARE ke teman-teman seperjuanganmu yang mungkin lagi butuh pencerahan.
Dari tiga jebakan di atas, mana yang paling terasa relate buat kamu? Coba cerita di kolom komentar!