Pernah jalan-jalan ke sebuah kota yang indah banget, lalu tiba-tiba kepikiran, “Eh, bisa nggak ya kita bikin kota kayak gini di zaman sekarang?”
Saya juga sering ngerasain hal itu. Banyak orang sudah kehilangan harapan, merasa kota baru itu rasanya dingin, kaku, dan tidak ramah manusia. Padahal, mewujudkan desain kota manusiawi yang indah itu masih mungkin banget.
Beberapa arsitek dan perencana kota di berbagai belahan dunia sudah membuktikan: mereka bisa mendesain kawasan yang bukan hanya cantik dilihat, tapi juga enak ditinggali. Pertanyaannya, apa sih rahasia di balik kota yang nyaman ditinggali itu?
Di sini saya akan berbagi 7 rahasia perancangan kota yang bisa bikin lingkungan jadi lebih hidup, nyaman, dan bikin orang jatuh cinta.
1. Gentle Density: Padat Tapi Tetap Manusiawi
Coba deh perhatikan Stockholm, Amsterdam, atau bahkan Paris. Bangunannya rata-rata nggak tinggi-tinggi amat. Jarang banget ada gedung pencakar langit di tengah kawasan hunian.
Yang menarik, meskipun rata-rata cuma 3–7 lantai, kota-kota itu tetap hidup, ramai, dan bisnisnya jalan. Kenapa? Karena ada yang disebut gentle density — kepadatan yang pas, nggak terlalu sesak tapi juga nggak sepi. Ini adalah jawaban telak untuk melawan urban sprawl (perembetan kota) yang boros lahan dan energi.
Kelebihannya: kepadatan seperti ini bisa mendukung toko, kafe, transportasi publik, sampai sekolah tanpa bikin orang sumpek. Paris, misalnya, berhasil menampung jutaan orang tanpa harus dipenuhi tower kaca raksasa.
2. Ruang Publik yang Bikin Betah
Percaya nggak kalau keindahan kota sering kali justru datang dari “ruang kosong” di antara bangunan? Menurut organisasi Project for Public Spaces, ruang publik yang sukses adalah kunci untuk menciptakan komunitas yang sehat.
Taman, alun-alun, jembatan kecil, sampai bangku di trotoar — itu semua yang bikin orang merasa dipeluk oleh kota. Sayangnya, banyak pembangunan modern malah bikin ruang publik jadi kaku. Bayangin aja: jalan super lebar tanpa pepohonan, atau taman yang minim tempat duduk. Rasanya kayak lewat di lapangan kosong, kan?
Solusinya: desain ruang publik yang intim, detail, dan manusiawi. Misalnya pakai material lantai yang indah, pagar dengan ornamen, atau lampu jalan klasik yang hangat.
3. Hijau & Biru: Sentuhan Alam yang Menghidupkan Kota
Siapa sih yang nggak suka lihat pohon rindang atau duduk di tepi air?
Studi dari berbagai universitas secara konsisten menunjukkan bahwa keberadaan ruang hijau dan biru (taman dan air) dapat meningkatkan kesehatan mental warga dan bahkan menaikkan nilai properti.
Contoh nyata: di Utrecht, Belanda, sebuah kanal yang dulu ditimbun dan diganti jalan raya akhirnya dikembalikan lagi fungsinya pada tahun 2020. Hasilnya? Area itu langsung berubah dari gersang jadi ramai dan hidup.
4. Kurangi Mobil, Lebih Banyak Ruang untuk Manusia
Saya tahu ini topik sensitif, apalagi di Indonesia. Tapi coba lihat Amsterdam. Dulu jalanan mereka dipenuhi mobil. Sekarang, lebih dari 60% perjalanan di pusat kota dilakukan dengan sepeda.
Menurut arsitek dan perencana kota ternama asal Denmark, Jan Gehl, mengurangi dominasi mobil akan mengembalikan kota kepada pemilik sejatinya: manusia. Dampaknya luar biasa: lebih aman, udara lebih bersih, dan bisnis lokal justru naik karena orang betah berjalan-jalan. Di Indonesia, kita bisa merasakan sedikit efeknya saat penataan pedestrian Malioboro di Yogyakarta berhasil membuat kawasan itu lebih ramah pejalan kaki.
5. Mixed-Use Development: Hidup 24 Jam
Kota yang hidup itu bukan cuma ramai di siang hari. Bayangkan kalau sebuah kawasan isinya kantor doang, lalu jam 6 sore semuanya sepi. Serem, kan?
Itu akibat zoning modernis yang memisahkan fungsi. Solusinya adalah mixed-use atau tata guna lahan campuran, sebuah ide yang sejalan dengan konsep “Kota 15 Menit“ yang kini populer. Prinsip ini juga merupakan inti dari gagasan aktivis legendaris Jane Jacobs dengan konsepnya “eyes on the street” (mata di jalan), di mana keramaian alami sepanjang hari menciptakan keamanan.
- Rumah di atas, kafe di bawah.
- Kantor kecil di dekat hunian.
- Toko kelontong di pojokan jalan.
Dengan begitu, ada kehidupan sepanjang waktu dan orang tak perlu selalu bergantung pada kendaraan.
6. Urban Form: Drama di Jalan Kota
Kota indah itu biasanya punya trik visual. Perencana kota klasik seperti Kevin Lynch dalam bukunya The Image of the City menjelaskan bagaimana manusia “membaca” kota melalui elemen-elemen visual.
Misalnya, bangunan megah di ujung jalan (terminated vista) yang bikin kita merasa perjalanan punya tujuan. Atau jalan melengkung yang bikin penasaran, “eh, di balik tikungan ada apa ya?” Contoh klasiknya adalah Royal Crescent di Bath, Inggris. Kalau di Indonesia, kita bisa lihat di kawasan Kota Tua Jakarta, di mana lorong kecil tiba-tiba terbuka ke arah Alun-alun Fatahillah yang megah.
7. Arsitektur yang Punya Jiwa
Inilah yang paling terasa sehari-hari. Kalau fasad bangunan monoton, kotanya terasa membosankan. Kalau detailnya kaya, simetris, atau ada sentuhan lokal, otomatis mood kita ikut naik.
Sayangnya, banyak kota sekarang dipenuhi desain internasional yang sama: kotak kaca polos. Padahal, arsitektur tradisional sudah terbukti bisa bikin orang merasa “di rumah”. Saya pribadi percaya, masa depan nggak harus selalu berupa gedung kaca raksasa. Kita bisa berinovasi sambil tetap menghormati akar lokal.
Penutup: Kota Itu Untuk Orang, Bukan Hanya Bangunan
Bayangkan sebuah kota yang padat tapi ramah, penuh pepohonan, ruang publik yang indah, bebas macet, ada kafe di sudut jalan, dan arsitektur yang bikin betah.
Itu bukan utopia. Itu nyata, dan sudah dibangun di banyak tempat seperti Le Plessis-Robinson di Prancis atau Cayalá di Guatemala.
Pertanyaannya, beranikah kita menerapkan prinsip ini di kota-kota kita?