Halo para pejuang bisnis! Pernah nggak sih ngerasa udah jungkir balik ngurusin bisnis online, stok barang udah numpuk, posting di medsos juga tiap hari, tapi kok hasilnya gitu-gitu aja? Omzet seret, pelanggan nggak nambah. Rasanya kayak lari di tempat, capek iya, sampai di tujuan kagak.
Tenang, Anda nggak sendirian. Saya sering banget ngobrol sama teman-teman UMKM, dan masalahnya seringkali bukan di produknya yang jelek. Produknya juara, semangatnya membara. Tapi, ada beberapa “lubang” kecil tak terlihat yang tanpa sadar bikin semua usaha jadi sia-sia.
Ini bukan soal kurang modal atau kurang kerja keras. Ini soal psikologi. Soal cara kerja otak pelanggan yang sering kita lupakan. Yuk, kita bedah bareng-seminar 10 kesalahan fatal ini,

1. Jualan Bor, Bukan Lubang di Dinding
Ini kesalahan paling klasik. Kita terlalu jatuh cinta sama produk kita sendiri. Kita sibuk jelasin spesifikasinya, bahannya apa, fiturnya secanggih apa. Padahal, pelanggan nggak peduli soal itu semua.
Otak manusia itu didesain untuk mencari solusi atas masalahnya. Mereka nggak beli bor, mereka beli “lubang di dinding yang rapi dan cepat”.
Contohnya jualan skincare. Anda mati-matian menjelaskan kandungan hyaluronic acid 5%, niacinamide 10%. Pelanggan cuma dengar, “bla bla bla… istilah kimia.” Yang sebetulnya ingin mereka dengar adalah: “Pakai ini, wajahmu bakal cerah dan lembap, jadi lebih pede pas ketemu klien.” Lihat bedanya?
- Salah: “Kopi kami dari biji Arabika Gayo grade A.”
- Benar: “Awali harimu dengan semangat, seruput kopi Gayo kami yang aromanya bikin mood langsung naik.”

2. Main Jaring Pukat Harimau
Siapa target pasar Anda? “Semua orang.”
Jawaban ini, jujur saja, adalah resep menuju kegagalan. Mencoba menjual ke semua orang itu sama saja dengan tidak menjual ke siapa-siapa. Pesan Anda jadi generik, nggak ada yang merasa “ini buat gue banget”.
Otak kita punya filter bawaan. Kita hanya akan memperhatikan hal-hal yang relevan dengan diri kita.
Saya pernah punya klien, bisnis katering makanan sehat. Awalnya dia promosi ke “semua yang mau hidup sehat”. Hasilnya? Sepi. Lalu kami persempit targetnya: “Ibu pekerja sibuk di Jakarta usia 28-40 tahun yang nggak sempat masak tapi ingin kasih makanan sehat buat keluarga.”
Boom! Tiba-tiba semua materi promosinya jadi lebih tajam. Bahasa yang dipakai lebih kena. Channel promosinya lebih jelas (grup-grup Facebook ibu-ibu pekerja, misalnya). Omzetnya? Nggak usah ditanya.

3. Toko Online yang Bikin Pusing Tujuh Keliling
Pernah masuk ke sebuah toko, barangnya bagus-bagus, tapi berantakan banget sampai bikin pusing dan akhirnya keluar lagi? Nah, itulah yang terjadi di banyak website atau akun Instagram bisnis.
Desainnya norak, tombol “Beli Sekarang” warnanya sama kayak background jadi nggak kelihatan, atau proses checkout-nya minta isi 10 formulir. Lho, ini mau belanja apa mau daftar jadi agen rahasia?
Otak manusia itu malas. Semakin banyak langkah atau semakin pusing tampilannya (cognitive load), semakin besar kemungkinan mereka akan menyerah di tengah jalan. Fenomena ini disebut analysis paralysis.
Cek Toko Anda Sekarang:
- Apakah info kontak (WA/Line) mudah ditemukan?
- Apakah proses dari lihat produk sampai bayar butuh lebih dari 3 klik?
- Bisakah pelanggan langsung paham produk Anda dalam 5 detik pertama membuka profil/website?

4. Perang Harga Sampai Berdarah-darah
“Saingan saya jual lebih murah, yaudah saya turunin lagi harganya!”
Ini jebakan Batman yang paling banyak memakan korban. Kalau satu-satunya senjata Anda adalah harga murah, Anda sedang membangun istana pasir. Begitu ada yang lebih murah, pelanggan Anda bakal langsung lari.
Anehnya, harga yang kelewat murah malah bisa bikin orang curiga, “Ini barangnya beneran bagus, nggak, sih?” Harga itu sinyal kualitas.
Daripada banting harga, mending tambahkan nilai (value).
- Kasih bonus kecil.
- Beri garansi personal.
- Buat kemasan yang cantik.
- Balas chat dengan super ramah dan cepat.
Hal-hal kecil ini yang bikin pelanggan merasa “worth it” bayar sedikit lebih mahal di tempat Anda.
5. Menganggap Semua Medsos Sama Rata
Ini juga sering terjadi. Satu konten dibuat, lalu disebar ke semua platform: Instagram, Facebook, TikTok, LinkedIn. Padahal, tiap media sosial itu punya “bahasa” dan “budaya” sendiri.
Orang buka TikTok untuk hiburan cepat. Buka Instagram untuk inspirasi visual. Buka LinkedIn untuk wawasan profesional.
Platform | Mindset Pengguna | Tipe Konten yang Cocok |
TikTok | “Hibur aku sekarang!” | Video pendek, lucu, tren, edukasi cepat |
“Beri aku inspirasi visual” | Foto estetik, Reels sinematik, Stories | |
“Ajari aku sesuatu” | Artikel, studi kasus, insight industri | |
“Hubungkan aku dengan komunitas” | Cerita personal, diskusi grup, live session |
Menyebarkan konten yang sama rata itu seperti ngobrol pakai bahasa Jawa di tengah-tengah orang Sunda. Nggak nyambung!
6. Promosi Sekali Jalan, Rezeki Datang Sendiri
“Kan udah pasang iklan, kok nggak ada yang beli?”
Tunggu dulu. Memangnya orang langsung nikah setelah kencan pertama? Ya nggak, kan? Perlu pendekatan, kenalan, bangun kepercayaan dulu. Begitu juga dengan pelanggan.
Otak butuh melihat sesuatu berkali-kali (mere-exposure effect) sebelum mulai merasa familiar dan percaya. Jangan berharap posting satu kali langsung viral.
Buatlah “corong penjualan” atau funneling sederhana.
- Kenalan: Konten edukasi gratis, tips & trik.
- Mulai Suka: Tawarkan e-book gratis, webinar, atau diskon kecil untuk pembelian pertama.
- Percaya & Beli: Tawarkan produk utama Anda.
- Jadi Pelanggan Setia: Kasih program loyalitas, ucapan terima kasih personal.

7. Buta Data, Jalan Pakai Perasaan
“Kayaknya sih, konten video lebih disukai.”
“Perasaan, pelanggan saya banyaknya dari Facebook.”
Kata “kayaknya” dan “perasaan” itu musuh besar dalam bisnis online. Kenapa harus meraba-raba dalam gelap kalau kita punya senter? Senter itu adalah data.
Setiap platform menyediakan data analitik gratis. Instagram Insights, TikTok Analytics, Google Analytics. Cek itu semua!
- Jam berapa pengikut Anda paling aktif?
- Konten mana yang paling banyak di-save?
- Dari mana sumber trafik terbesar ke website Anda?
Data itu bukan cuma angka. Itu adalah suara pelanggan Anda yang memberitahu apa yang mereka suka. Dengarkan.
8. Pelayanan ala Kadarnya Setelah Transfer
Ini dia dosa yang tak terampuni. Sebelum transfer, chat dibalas secepat kilat. Begitu uang masuk, eh, chat dicuekin, pengiriman lama, packing seadanya.
Ingat prinsip Peak-End Rule dalam psikologi: orang akan menilai sebuah pengalaman berdasarkan momen puncaknya (biasanya saat ada masalah) dan momen terakhirnya. Pengalaman setelah bayar itu adalah momen terakhir. Kalau momen ini jelek, seluruh pengalaman belanja yang tadinya oke bakal ikut terasa jelek.
Anekdot singkat: Saya pernah beli kopi dari dua toko online. Toko A murah, tapi packingnya cuma dibungkus plastik. Toko B sedikit lebih mahal, tapi di dalam paketnya ada kartu ucapan terima kasih tulisan tangan dan satu permen. Coba tebak, saya pesan lagi di toko mana? Jelas Toko B. Rasanya dihargai.

9. Nggak Punya “Muka” yang Jelas
Maksudnya “muka” di sini adalah branding. Apa yang membuat toko Anda beda dari ribuan toko lain yang menjual produk serupa? Apa kepribadiannya?
Apakah brand Anda itu:
- Lucu & Jenaka? (kayak postingan @tahilalats)
- Mewah & Elegan? (kayak brand fashion ternama)
- Hangat & Bersahabat? (kayak warung kopi langganan)
Kepribadian ini harus konsisten di mana-mana. Dari pemilihan warna logo, gaya bahasa saat balas chat, sampai desain postingan. Otak manusia lebih mudah terkoneksi dengan kepribadian, bukan dengan entitas tanpa wajah.
10. Terlalu Cepat Kibarkan Bendera Putih
Bisnis online itu maraton, bukan sprint 100 meter.
Banyak yang semangat di 3 bulan pertama. Begitu melihat hasilnya belum seberapa, langsung loyo dan menyerah. Padahal, membangun kepercayaan dan audiens itu butuh waktu.
Otak kita memang cenderung mencari kepuasan instan (instant gratification). Tapi kesuksesan sejati datang dari konsistensi. Terus belajar, terus coba, terus perbaiki. Gagal sekali dua kali itu bukan akhir dunia, itu biaya kuliah di “Universitas Kehidupan Bisnis”.
Jadi, Mulai dari Mana?
Melihat daftar ini mungkin bikin sedikit pusing, ya? “Wah, ternyata banyak banget yang salah.”
Nggak apa-apa. Itu pertanda bagus, artinya Anda sadar dan mau belajar.
Nggak perlu perbaiki semuanya sekaligus. Coba deh, pilih satu atau dua poin yang paling “kena” buat bisnis Anda saat ini. Fokus perbaiki itu dulu selama sebulan ke depan. Lihat perubahannya. Satu langkah kecil setiap hari, lama-lama pasti sampai ke tujuan.
Semangat terus, ya!
Baca Juga: Apa Itu Produk Digital dan Bagaimana Cara Menjualnya?
FAQ (Yang Sering Ditanyain)
1. Dari 10 kesalahan itu, mana yang paling fatal untuk pemula?
Menurut saya, nomor 1 (Jualan Bor, Bukan Lubang) dan nomor 2 (Main Jaring Pukat Harimau). Kalau dari awal Anda salah memahami apa yang pelanggan butuhkan dan siapa target Anda, semua strategi lainnya akan percuma.
2. Budget saya sangat terbatas, perbaikan mana yang harus saya prioritaskan?
Prioritaskan yang tidak butuh biaya besar: nomor 8 (Pelayanan Setelah Transfer) dan nomor 9 (Nggak Punya ‘Muka’). Membalas chat dengan ramah, packing dengan sentuhan personal, dan konsisten dengan gaya bahasa itu gratis, tapi dampaknya luar biasa untuk membangun loyalitas pelanggan.
3. Berapa lama waktu yang wajar untuk melihat hasil setelah memperbaiki kesalahan ini?
Bervariasi, tapi jangan berharap hasil instan. Untuk perbaikan seperti pelayanan atau kejelasan target pasar, Anda mungkin bisa melihat peningkatan engagement atau testimoni positif dalam beberapa minggu. Untuk hasil signifikan pada omzet, berikan waktu setidaknya 3-6 bulan konsistensi.